Jumat, 11 November 2011

Tugas Lapangan: Meninjau Pengungsi Merapi

::mengenang tugas pendidikan pancasila semester pertama lalu::


Merapi dengan ketinggian puncak 2.968 m diatas permukaan laut adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Gunung ini cukup berbahaya mengingat erupsi gunung berapi ini terjadi setiap dua sampai lima tahun. Gunung berapi ini berbatasan langsung dengan dua provinsi, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, serta beberapa kabupaten yang berada di wilayah tersebut. Dalam beberapa kabupaten itu, banyak pula terdapat pemukiman warga yang berada pada lereng gunung berapi tersebut. 

Gunung Merapi menampakkan aktivitas kegunung apiannya pada tanggal 25 Oktober (2010) lalu. Dengan adanya data dan fakta dari badan terkait, pemukiman warga yang berada dalam radius 10 kilometer diharuskan untuk dikosongkan, dan warga yang berada dalam radius tersebut diharuskan untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. 

Satu hari setelahnya, Merapi menepati aktivitasnya yaitu memuntahkan lahar kearah selatan, yaitu arah kabupaten Sleman. Banyak yang menjadi korban dalam aktivitas kegunungapian ini. Dampak berupa hujan abupun sampai ke beberapa daerah daerah disekitarnya, terutama kabupaten magelang. 

Merapi tak kunjung mereda, pada tanggal 4 November pagi hari, terjadi letusan eksplosif dengan suara bergemuruh yang terjadi bahkan pada sepanjang harinya. Letusan ini mengakibatkan adanya relokasi pengungsi secara besar besaran kearah pusat kota Jogja, atau menjauhi gunung Merapi. Pada sore hari itu, ada sebagian pengungsi yang berpindah dari desa Pakem, menuju kearah kota Jogja yang dipusatkan ke stadion Maguwoharjo. 

Seharusnya, pada sore itu saya bersama seorang teman yang tergabung dalam organisasi tanggap bencana berniat mengadakan trauma-healing bagi anak-anak yang dikemas dalam acara TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), karena basis kami adalah organisasi keislaman. Namun acara tersebut gagal, diganti dengan hiruk pikuk warga pengungsian yang mengemasi barang-barang yang sempat dibawanya, agar ikut terbawa ke tempat pengungsian yang baru. 

Suasana yang mencekam terjadi pada sore hari itu. Anak-anak yang mudah terbawa suasana banyak yang menangis karena orangtua mereka yang panik. Anak-anak yang tidak tahu apa-apa tersebut hanya mengikuti perintah orangtuanya untuk mengumpulkan bawaan yang mereka punyai. Raut muka mereka gelisah, seakan-akan hal yang tidak mengenakkan tersebut diresapinya dengan sungguh-sungguh. Bagaimana tidak, suara Merapi yang terus-terus bergemuruh tersebut tentu membuat perasaan mereka was-was. 

Saya yang bukan pengungsi pada saat itupun merasa khawatir akan keselamatan diri saya. Saya dan seorang teman sayapun pamit untuk kembali ke kediaman kami, setelah acara yang telah kami rancang tidak dapat terlaksana sama sekali. Beberapa temanpun berusaha mencegah kami berdua, dan menyarankan kami untuk terlebih dahulu membantu pengungsi yang akan direlokasi. 

Namun tanggapan berbeda didapat dari pengungsi tersebut. Kebanyakan dari mereka tidak ingin dibantu dalam pengemasan maupun pembawaan barang dagangan. Mereka menggunakan sumber daya manusia yang berasal dari keluarganya. Anak-anaknya yang masih kecil, atau orang yang sudah cukup tua, membawa sendiri barang-barang yang mereka miliki tersebut. Kata mereka, biar tidak terpisah antara barang milik mereka dengan barang milik orang lain. Sebagian pengungsipun akhirnya menyarankan jika ingin membantu, kami diharap untuk membantu orang-orang yang sudah lanjut usia untuk naik ke dalam mobil maupun truk yang digunakan. 

Akhirnya kamipun membantu hanya sebatas yang bisa dan dapat kami bantu. Saya menyimpulkan dari peristiwa tersebut, bahwa mereka berpendapat bahwa evakuasi yang mereka lakukan terutama adalah menyelamatkan diri sendiri dan keluarga dekat terlebih dahulu. Sisi kemanusiaanpun ada, namun yang lebih dominan adalah keluarga. Karena saya tidak sempat bertanya nama nama mereka, sebagai contoh saya akan menggantinya dengan inisial. Misalnya si A yang adalah kepala keluarga, akan terlebih dahulu menyelamatkan atau mengevakuasi istri dan anaknya dahulu kedalam mobil atau truk, baru kemudian membantu pengungsi lain untuk mengikuti masuk kedalam mobil atau truk tersebut. 

Satu hal lagi yang saya tangkap, mereka lebih memilih membawa sendiri barang yang sempat mereka bawa ke pengungsian daripada mnyerahkan kepada relawan yang membantu mengangkutkan barang bawaan tersebut. Hal ini terjadi karena pengungsi merasa barang yang mereka punya tersebut adalah harta mereka yang tersisa saat itu. Sehingga mereka akan merasa lebih aman akan barang bawaan mereka tersebut apabila dibawa sendiri dan tidak dibawakan oleh relawan, yang kemungkinan dapat tertukar maupun hilang. 

Malam harinya, terjadi letusan yang lebih dahsyat lagi. Pada dini hari, terjadi letusan eksplosif yang membentuk kolom asap setinggi 6000 meter. Luncuran awan panas atau biasa disebut wedhus gembel ini mencapai 15 kilometer lagi-lagi kearah selatan yaitu arah kabupaten Sleman. Daerah bencanapun diperluas menjadi 20 kilometer. Korbanpun berjatuhan karena luncuran awan panas mengenai dusun yang sebagian besar penduduknya belum mengungsi dan tidak sempat mengungsi pada saai awan panas menerjang. 

Setelah adanya letusan tersebut, pengungsi yang berada dalam radius yang dinyatakan bahaya direlokasi ke daerah kota yang radiusnya lebih aman. Sebagian besar mengungsi ke Stadion Maguwoharjo yang telah disiapkan untuk pusat pengungsian. Saya pada malam itu berada di rumah yang tergolong aman, namun saya sempat menelepon seorang teman saya yang merupakan relawan, yang pada saat itu berada di posko gedung terpadu UII. 

Dari pembicaraan via telepon, saya dapat membayangkan betapa paniknya situasi saat itu. Warga yang mengungsi hampir semua panik, hendak menyelamatkan diri. Saat truk yang akan membawa mereka datang, mereka berebutan untuk naik ke atas truk dengan harapan lebih cepat sampai ke tempat yang lebih aman. 

Adanya hujan pasir menambah panik semua warga yang saat itu berada di posko gedung terpadu UII. Baik pengungsi itu sendiri, maupun para relawan yang ada. Teman saya yang menjadi relawan saat itu, menuturkan kepada saya bahwa dia sendiri panik. Koordinasi antar relawan pada malam itu berjalan seperti biasanya, namun dengan tugas yang lebih berat. Mereka tetap membantu kebutuhan pengungsi yang akan direlokasi ditengah suara gemuruh merapi yang tak kunjung mereda. 

Akan tetapi, teman saya tersebut tidak ikut serta untuk membantu kebutuhan para pengungsi, walaupun ia jelas-jelas relawan disana. Dia menuturkan kepada saya bahwa dia panik, takut, dan bingung hendak berbuat apa. Hujan pasir yang begitu lebatnya dan suara merapi yang tak kunjung reda menjadi salah satu faktor pemicunya. Dia menenangkan dirinya sendiri akan situasi yang tengah dihadapinya ketika saya menghubunginya via telepon. Sebagai sahabat, saya memberinya dorongan motivasi dan semangat agar tetap dapat menjalankan tugasnya walaupun pada akhirnya dia tetap tidak kuasa untuk bertindak apapun malam itu. 

Dari hal tersebut saya dapat menyimpulkan bahwa relawan juga manusia yang dapat merasakan lelah, mempunyai titik jenuh yang sama dengan para pengungsi. Sebuah hal yang manusiawi ketika teman saya tersebut pada malam itu juga merasa sedemikian takutnya. Betapa hebatnya para relawan tersebut. Rasa kemanusian mereka begitu besar, mengesampingkan rasa takut dan was-was seperti yang dirasakan teman saya, sebagian besar relawan tetap melaksanakan tugasnya membantu memenuhi kebutuhan pengungsi. 

Beberapa hari setelahnya, saya berkesempatan mengunjungi posko pengungsian UPN, tempat teman saya yang mengabdikan diri sebagai relawan tersebut. Pada saat itu, saya bertanya kepada teman saya apa yang terjadi pada teman saya pada malam terjadinya letusan dahsyat merapi beberapa waktu lalu. Diapun bercerita mengenai paniknya situasi, serta dampak hujan pasir yang melanda dan suara gemuruh merapi yang tak kunjung mereda. Dia juga menambahkan, dia menyesal pada malam hari itu tidak dapat berbuat banyak kepada para pengungsi. Namun dia bersyukur segala sesuatunya dapat membaik. 

Pengungsi yang saya temui disana kondisinya cukup memprihatinkan. Situasi gunung merapi tak kunjung mereda juga menjadi faktor penyebabnya. Kondisi kejiwaan yang labil tergambar jelas dari wajah mereka yang letih. Tidak hanya orang dewasa, anak-anakpun juga mendapat dampaknya. Merekapun tampaknya juga lelah karena berpindah-pindah tempat pengungsian. 

Banyak acara yang diadakan disana untuk mengisi waktu pengungsi secara positif. Yang paling dominan adalah trauma healing bagi anak-anak. Mahasiswa dan mahasiswi psikologi dari bermacam universitas mengisi kegiatan tersebut. Trauma healing bisa dilakukan dengan apa saja, misal dengan mengajak mereka bermain, ngobrol, bercanda, memberikan game, bernyanyi, menggambar, kegiatan fisik yang lebih dititik beratkan untuk merangsang kreatifitas mereka dan memberikan semangat dan motivasi. Acara tersebut menggugah minat anak-anak yang antusias mengikutinya. 

Saya hanya menjadi penonton disana. Karena saya datang tidak sebagai relawan dari organisasi manapaun saat itu. Maka yang saya lakukan adalah mengamati keadaan sekitar sambil membantu teman saya yang bertugas menjadi relawan disana. Karena hal itu pula lah, saya tidak mempunyai foto yang spesial untuk menggambarkan keadaan yang menarik hati saya disana. 

Bermacam-macam hal yang saya amati pada saat itu, mulai dari sekelompok ibu-ibu yang tengah membicarakan nasib mereka, hingga terlibat percakapan dengan seorang kepala keluarga pengungsi. Ibu-ibu tersebut membicarakan tentang kekhawatiran akan kediaman mereka yang berada dalam wilayah rawan bencana. Saya yang tidak terlalu fasih berbahasa jawa hanya mendengarkan teman saya yang berinteraksi dengan mereka. Banyak yang mereka keluhkan. Tentang harta benda mereka yang tertinggal, ternak mereka, surat-surat berharga mereka, namun mereka juga bersyukur karena anggota keluarganya tidak kurang suatu apapun. Satu sama lain ibu-ibu yang berbincang tersebut saling menguatkan untuk tabah menerima keadaan dengan mengucapkan kalimat berbahasa jawa yang artinya kurang lebih “kita nggak sendiri kok, masih banyak orang lain yang juga menjadi korban.” 

Nilai keagamaan juga terasa disana. Walaupun dengan tempat yang serba sederhana, mereka tetap melaksanakan sholat lima waktu di lokasi pengungsian tersebut. Mereka tidak beribadah di ruang khusus, namun mereka beribadah (dalam hal ini sholat) di auditorium atau lokasi tempat mereka mengungsi tersebut. Bisa dibayangkan ketika saya melihat lokasi tempat mereka mengungsi, terdapat pengungsi yang sedang beribadah disana, hati saya trenyuh. Mereka tidak melupakan Sang Pemilik Kehidupan. 

Lain halnya ketika teman saya berbincang dengan salah seorang kepala keluarga yang seluruh keluarganya mengungsi di tempat itu. Dengan tekanan batinnya, beliau meminta sedikit sedekah uang kepada teman saya yang relawan tersebut. Sedikit saya tuliskan perbincangan namun dalam bahasa Indonesia. “Mas, kamu kan relawan, mbok saya diberi sedikit uang untuk anak-istri saya. Memang disini kebutuhan sudah difasilitasi. Tapi saya malu ketika istri saya meminta uang kepada saya, saya tidak punya sama sekali. Saya mau bilang gimana sama istri saya.” Seperti itu kira-kira percakapannya. 

Melihat kemungkinan yang ada, teman saya menolak untuk memberikan uang, dan hanya memberi saran dan masukan secara psikologis untuk beliau menghadapi masalah tersebut. Memang tidak etis apabila relawan memberikan uang secara pribadi tanpa koordinasi posko pusat kepada salah seorang pengungsi, hal ini dapat menjadi kesenjangan social apabila nanti diketahui oleh pengungsi yang lain. 

Namun, hal ini memberi informasi kepada saya mengenai keadaan mereka sebenarnya. Betapa beratnya yang mereka hadapi ditengah ancaman Gunung Merapi yang belum terdapat titik terangnya. Lumrah, jika banyak yang mendapat trauma psikologis dalam bencana ini. Bencana yang sama sekali tidak mereka duga sebelumnya. Namun hal ini dapat menjadi pembelajaran bagi bersama. Mengenai arti bencana bagi kehidupan, arti pentingnya kebersamaan, arti kemanusiaan bagi kelangsungan hidup mereka, arti sahabat dalam memotivasi dan berbagi, arti pemerintah untuk kejelasan kondisi dan tumpuan harapan, serta arti agama untuk menguatkan diri menghadapi cobaan. 

Fungsi Uang pada Teori Motivasi

::mengenang tugas bisnis pengantar semester pertama lalu::

Teori Motivasi


1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan) 

Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata. 

Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual. 

Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya. 

Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang. 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa : 
Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang; 
Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya. 
Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu. 

Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif. 

2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)

Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan: “ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.” 

Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah. 

3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)

Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan) 

Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa : makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya; kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan; sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar. 

Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya. 

4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)

Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.

Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.

Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik

5. Teori Keadilan

Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu : seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. 

Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu : 
  • Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya; 
  • Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri; 
  • Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis; 
  • Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai 

Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain. 


6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)

Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan. 


7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )

Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya. 

Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah. 

Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya. 


8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku

Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut. 

Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku. 

Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan. 

Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari. 

Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas. Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula. 


9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.

Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu. 

Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan. 

Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya. 



Fungsi Uang pada Teori Motivasi


1. Teori Kebutuhan Abraham Maslow 

Korelasi antara uang dengan teori ini menurut kami adalah uang merupakan alat utama/sebagai sarana untuk ditukar dengan alat pemuas kebutuhan, kecuali dalam kebutuhan akan cinta dan harga diri. Seperti contoh, dalam pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan, kita mengorbankan uang sebagai alat tukar untuk mendapatkannya. Tetapi terkecuali dalam pemenuhan kebutuhan cinta dan harga diri, uang bukanlah alat utama/sarana untuk pemenuhannya, tetapi sebagai pendukung dari manifestasi yang ada di pikiran kita. Terkait karena kebutuhan cinta dan harga diri adalah kebutuhan rohani kita. 


2. Teori Kebutuhan Berprestasi McClelland 

Menurut kami, uang, peranannya di dalam teori ini adalah sebagai pemacu untuk dapat menghasilkan sesuatu lebih dari yang telah ada saat ini. Sehingga dapat diartikan bahwa dengan uang, individu dapat dipacu secara kompetitif untuk menuju ke fase yang lebih baik lagi. 


3. Teori “ERG” Clyton Alderfer 

Eksistensi sebagai kebutuhan, berkaitan dengan pemuasan kebutuhan materi, sebagian bisa berupa uang, yang diperlukan dalam mempertahankan eksistensi seseorang. Hubungan berkaitan dengan pentingnya pemeliharaan hubungan interpersonal. Sedangkan pertumbuhan merupakan kebutuhan untuk perkembangan secara intelektual. Pemuasan tiga kelompok kebutuhan ini secara stimultan akan merupakan pendorong yang kuat bagi individu untuk terus memacu kinerjanya menjadi maksimal 


4. Teori Dua Faktor Herzberg 

Teori ini mencakup dua faktor motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang. 

Fungsi uang disini adalah termasuk dalam faktor hygiene, atau faktor yang sifatnya ekstrinsik. Sistem imbalan yang diberikan, atau besarnya imbalan yang sesuai dengan hasil pekerjaan, merupakan faktor yang berasal dari luar diri seseorang yang mampu mempengaruhi kehidupan seseorang untuk bekerja lebih giat lagi. 


5. Teori Keadilan 

Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi. Kemungkinan pertama seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau kemungkinan kedua mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. 


6. Teori Penetapan Tujuan Edwin Locke 

Teori ini mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasi yakni tujuan-tujuan mengarahkan perhatian, tujuan-tujuan mengatur upaya, tujuan-tujuan meningkatkan persistensi, dan tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Uang disini dibutuhkan untuk menunjang agar pencapaian tujuan-tujuan tersebut dapat terlaksana dengan baik. Dengan penggunaan uang sebagai alat motivasi disini, membuat individu bersemangat dan termotivasi untuk menyelesaikan tujuan yang telah ditetapkan secara baik, efisien, dan maksimal. 


7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan) 

Fungsi uang pada teori ini adalah akan memotivasi karyawan untuk meningkatkan kinerjanya dengan adanya kepastian tambahan imbalan yang diberikan. Imbalan berupa uang akan lebih meyakinkan karyawan bahwa harapan untuk mendapatkannya terbuka cukup besar. Dan ketika seorang karyawan menyadari hal tersebut maka ia akan termotivasi untuk berupaya mendapatkannya. 


8. Teori Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku 

Fungsi uang pada teori ini adalah membuat manusia cenderung mengalami percepatan dalam melakukan perubahan perilaku. Karena manusia cenderung akan mengulangi perilaku yang mempunyai konsekuensi menguntungkan bagi dirinya dan mengelakkan perilaku yang menimbulkan konsekuensi yang merugikan. 

Contoh sederhananya seorang sekretaris dapat menyelesaikan tugasnya dengan dalam waktu singkat. Lalu ia akan mendapatkan pujian dari atasannya, dimana pujian itu berujung pada kenaikan gaji yang dipercepat. Hal ini akan mendorong sekretaris untuk tidak hanya untuk bekerja lebih tekun dan teliti tapi juga akan berusaha memodifikasi perilaku dengan meningkatkan keterampilannya. Seperti menggunakan software yang lebih canggih untuk memproses data yang diharapakan akan memberikan konsekuensi positif di kemudian hari. 


9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi 

Fungsi uang pada teori ini adalah memberi nilai kepuasan lebih atas prestasi yang telah dicapai seorang karyawan. Tingkat prestasi karyawan dapat diukur dengan bonus yang diberikan, misalnya dua orang dengan jabatan yang sama akan mendapatkan bonus yang berbeda bila salah satunya selalu tepat menyelesaikan pekerjaan, sering bekerja lembur, atau beretika baik dalam berorganisasi. Dengan adanya imbalan pada prestasi yang dilakukan dalam organisasi maka karyawan akan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya. 

Academics Writing

::mengenang tugas bahasa inggris semester dua lalu::
(gak jamin grammar n structurenya bener)

Students, Free Time and Small Business 


As students, teenagers in Indonesia have a lot of free time beside their time to school. They do not have many tasks from school. Usually, they use their free time to hang out with their friends or spend it to gather with their family. They can also spend their money to go shop, watching movie, karaoke, or things that can make them happy. But, not all of their activities give them benefit. They have more activities that more beneficial.

As a choice, they can do other things. They can do what they like, but they also get the benefit from it. For example, they can go for sport for their healthy. “Leisure time sports are form of physical activity in leisure under a time perspective. It comprises sport after work, on weekends, in vacations, in retirement, or during periods of unemployment” (Herbert 117). They do not need to practice sport in the expensive place or in the gymnasium. They can go jogging or doing other exercises.

In the other hand, they also can make small business, the most beneficial from the financial side. They can practice it with their family or friends. “Small business is business with relatively little influence in its market” (Ebert 56). So it is easy to enter the small business market although they are still teenager. They do not need to be afraid because they have some criteria to be a small business owner.

There are many choices to make small business owner. They can resell some product and get the profit from the margin of the goods. Or they can make some product by themselves and sell it as brand new. There is not difficult. They can choose what product that they like. For example, someone who loves chocolate so much can make small home industries which produce some variety of chocolate. Or someone who loves soccer so much can sell the soccer uniform of each team to other people that loves soccer too.

Become a reseller is one of the choice of small business. It takes low effort to produce the goods to be sold. They only have to buy the product in grocery store, then repackage or make this goods to be sold attract people to buy the product. They do not need to make something new.

This activity can be alternative to have a beneficial free time. Besides they can spend their free time to positive one, they also get benefit from it. For them who choose to have small business, they will get some additional money from it. They also get the experience of having small business and who knows if from these experiences they will be a real business person.

Works Cited

Herbert, Hagg. Sports and Souls: Leisure Time Sports. New York: New York Times, 1994. Print.
Ebert, Griffin. Business Essential: Entrepreneurship and Business Ownership. New Jersey: Pearson Education, 2007. Print.