Jumat, 11 November 2011

Tugas Lapangan: Meninjau Pengungsi Merapi

::mengenang tugas pendidikan pancasila semester pertama lalu::


Merapi dengan ketinggian puncak 2.968 m diatas permukaan laut adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Gunung ini cukup berbahaya mengingat erupsi gunung berapi ini terjadi setiap dua sampai lima tahun. Gunung berapi ini berbatasan langsung dengan dua provinsi, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, serta beberapa kabupaten yang berada di wilayah tersebut. Dalam beberapa kabupaten itu, banyak pula terdapat pemukiman warga yang berada pada lereng gunung berapi tersebut. 

Gunung Merapi menampakkan aktivitas kegunung apiannya pada tanggal 25 Oktober (2010) lalu. Dengan adanya data dan fakta dari badan terkait, pemukiman warga yang berada dalam radius 10 kilometer diharuskan untuk dikosongkan, dan warga yang berada dalam radius tersebut diharuskan untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. 

Satu hari setelahnya, Merapi menepati aktivitasnya yaitu memuntahkan lahar kearah selatan, yaitu arah kabupaten Sleman. Banyak yang menjadi korban dalam aktivitas kegunungapian ini. Dampak berupa hujan abupun sampai ke beberapa daerah daerah disekitarnya, terutama kabupaten magelang. 

Merapi tak kunjung mereda, pada tanggal 4 November pagi hari, terjadi letusan eksplosif dengan suara bergemuruh yang terjadi bahkan pada sepanjang harinya. Letusan ini mengakibatkan adanya relokasi pengungsi secara besar besaran kearah pusat kota Jogja, atau menjauhi gunung Merapi. Pada sore hari itu, ada sebagian pengungsi yang berpindah dari desa Pakem, menuju kearah kota Jogja yang dipusatkan ke stadion Maguwoharjo. 

Seharusnya, pada sore itu saya bersama seorang teman yang tergabung dalam organisasi tanggap bencana berniat mengadakan trauma-healing bagi anak-anak yang dikemas dalam acara TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), karena basis kami adalah organisasi keislaman. Namun acara tersebut gagal, diganti dengan hiruk pikuk warga pengungsian yang mengemasi barang-barang yang sempat dibawanya, agar ikut terbawa ke tempat pengungsian yang baru. 

Suasana yang mencekam terjadi pada sore hari itu. Anak-anak yang mudah terbawa suasana banyak yang menangis karena orangtua mereka yang panik. Anak-anak yang tidak tahu apa-apa tersebut hanya mengikuti perintah orangtuanya untuk mengumpulkan bawaan yang mereka punyai. Raut muka mereka gelisah, seakan-akan hal yang tidak mengenakkan tersebut diresapinya dengan sungguh-sungguh. Bagaimana tidak, suara Merapi yang terus-terus bergemuruh tersebut tentu membuat perasaan mereka was-was. 

Saya yang bukan pengungsi pada saat itupun merasa khawatir akan keselamatan diri saya. Saya dan seorang teman sayapun pamit untuk kembali ke kediaman kami, setelah acara yang telah kami rancang tidak dapat terlaksana sama sekali. Beberapa temanpun berusaha mencegah kami berdua, dan menyarankan kami untuk terlebih dahulu membantu pengungsi yang akan direlokasi. 

Namun tanggapan berbeda didapat dari pengungsi tersebut. Kebanyakan dari mereka tidak ingin dibantu dalam pengemasan maupun pembawaan barang dagangan. Mereka menggunakan sumber daya manusia yang berasal dari keluarganya. Anak-anaknya yang masih kecil, atau orang yang sudah cukup tua, membawa sendiri barang-barang yang mereka miliki tersebut. Kata mereka, biar tidak terpisah antara barang milik mereka dengan barang milik orang lain. Sebagian pengungsipun akhirnya menyarankan jika ingin membantu, kami diharap untuk membantu orang-orang yang sudah lanjut usia untuk naik ke dalam mobil maupun truk yang digunakan. 

Akhirnya kamipun membantu hanya sebatas yang bisa dan dapat kami bantu. Saya menyimpulkan dari peristiwa tersebut, bahwa mereka berpendapat bahwa evakuasi yang mereka lakukan terutama adalah menyelamatkan diri sendiri dan keluarga dekat terlebih dahulu. Sisi kemanusiaanpun ada, namun yang lebih dominan adalah keluarga. Karena saya tidak sempat bertanya nama nama mereka, sebagai contoh saya akan menggantinya dengan inisial. Misalnya si A yang adalah kepala keluarga, akan terlebih dahulu menyelamatkan atau mengevakuasi istri dan anaknya dahulu kedalam mobil atau truk, baru kemudian membantu pengungsi lain untuk mengikuti masuk kedalam mobil atau truk tersebut. 

Satu hal lagi yang saya tangkap, mereka lebih memilih membawa sendiri barang yang sempat mereka bawa ke pengungsian daripada mnyerahkan kepada relawan yang membantu mengangkutkan barang bawaan tersebut. Hal ini terjadi karena pengungsi merasa barang yang mereka punya tersebut adalah harta mereka yang tersisa saat itu. Sehingga mereka akan merasa lebih aman akan barang bawaan mereka tersebut apabila dibawa sendiri dan tidak dibawakan oleh relawan, yang kemungkinan dapat tertukar maupun hilang. 

Malam harinya, terjadi letusan yang lebih dahsyat lagi. Pada dini hari, terjadi letusan eksplosif yang membentuk kolom asap setinggi 6000 meter. Luncuran awan panas atau biasa disebut wedhus gembel ini mencapai 15 kilometer lagi-lagi kearah selatan yaitu arah kabupaten Sleman. Daerah bencanapun diperluas menjadi 20 kilometer. Korbanpun berjatuhan karena luncuran awan panas mengenai dusun yang sebagian besar penduduknya belum mengungsi dan tidak sempat mengungsi pada saai awan panas menerjang. 

Setelah adanya letusan tersebut, pengungsi yang berada dalam radius yang dinyatakan bahaya direlokasi ke daerah kota yang radiusnya lebih aman. Sebagian besar mengungsi ke Stadion Maguwoharjo yang telah disiapkan untuk pusat pengungsian. Saya pada malam itu berada di rumah yang tergolong aman, namun saya sempat menelepon seorang teman saya yang merupakan relawan, yang pada saat itu berada di posko gedung terpadu UII. 

Dari pembicaraan via telepon, saya dapat membayangkan betapa paniknya situasi saat itu. Warga yang mengungsi hampir semua panik, hendak menyelamatkan diri. Saat truk yang akan membawa mereka datang, mereka berebutan untuk naik ke atas truk dengan harapan lebih cepat sampai ke tempat yang lebih aman. 

Adanya hujan pasir menambah panik semua warga yang saat itu berada di posko gedung terpadu UII. Baik pengungsi itu sendiri, maupun para relawan yang ada. Teman saya yang menjadi relawan saat itu, menuturkan kepada saya bahwa dia sendiri panik. Koordinasi antar relawan pada malam itu berjalan seperti biasanya, namun dengan tugas yang lebih berat. Mereka tetap membantu kebutuhan pengungsi yang akan direlokasi ditengah suara gemuruh merapi yang tak kunjung mereda. 

Akan tetapi, teman saya tersebut tidak ikut serta untuk membantu kebutuhan para pengungsi, walaupun ia jelas-jelas relawan disana. Dia menuturkan kepada saya bahwa dia panik, takut, dan bingung hendak berbuat apa. Hujan pasir yang begitu lebatnya dan suara merapi yang tak kunjung reda menjadi salah satu faktor pemicunya. Dia menenangkan dirinya sendiri akan situasi yang tengah dihadapinya ketika saya menghubunginya via telepon. Sebagai sahabat, saya memberinya dorongan motivasi dan semangat agar tetap dapat menjalankan tugasnya walaupun pada akhirnya dia tetap tidak kuasa untuk bertindak apapun malam itu. 

Dari hal tersebut saya dapat menyimpulkan bahwa relawan juga manusia yang dapat merasakan lelah, mempunyai titik jenuh yang sama dengan para pengungsi. Sebuah hal yang manusiawi ketika teman saya tersebut pada malam itu juga merasa sedemikian takutnya. Betapa hebatnya para relawan tersebut. Rasa kemanusian mereka begitu besar, mengesampingkan rasa takut dan was-was seperti yang dirasakan teman saya, sebagian besar relawan tetap melaksanakan tugasnya membantu memenuhi kebutuhan pengungsi. 

Beberapa hari setelahnya, saya berkesempatan mengunjungi posko pengungsian UPN, tempat teman saya yang mengabdikan diri sebagai relawan tersebut. Pada saat itu, saya bertanya kepada teman saya apa yang terjadi pada teman saya pada malam terjadinya letusan dahsyat merapi beberapa waktu lalu. Diapun bercerita mengenai paniknya situasi, serta dampak hujan pasir yang melanda dan suara gemuruh merapi yang tak kunjung mereda. Dia juga menambahkan, dia menyesal pada malam hari itu tidak dapat berbuat banyak kepada para pengungsi. Namun dia bersyukur segala sesuatunya dapat membaik. 

Pengungsi yang saya temui disana kondisinya cukup memprihatinkan. Situasi gunung merapi tak kunjung mereda juga menjadi faktor penyebabnya. Kondisi kejiwaan yang labil tergambar jelas dari wajah mereka yang letih. Tidak hanya orang dewasa, anak-anakpun juga mendapat dampaknya. Merekapun tampaknya juga lelah karena berpindah-pindah tempat pengungsian. 

Banyak acara yang diadakan disana untuk mengisi waktu pengungsi secara positif. Yang paling dominan adalah trauma healing bagi anak-anak. Mahasiswa dan mahasiswi psikologi dari bermacam universitas mengisi kegiatan tersebut. Trauma healing bisa dilakukan dengan apa saja, misal dengan mengajak mereka bermain, ngobrol, bercanda, memberikan game, bernyanyi, menggambar, kegiatan fisik yang lebih dititik beratkan untuk merangsang kreatifitas mereka dan memberikan semangat dan motivasi. Acara tersebut menggugah minat anak-anak yang antusias mengikutinya. 

Saya hanya menjadi penonton disana. Karena saya datang tidak sebagai relawan dari organisasi manapaun saat itu. Maka yang saya lakukan adalah mengamati keadaan sekitar sambil membantu teman saya yang bertugas menjadi relawan disana. Karena hal itu pula lah, saya tidak mempunyai foto yang spesial untuk menggambarkan keadaan yang menarik hati saya disana. 

Bermacam-macam hal yang saya amati pada saat itu, mulai dari sekelompok ibu-ibu yang tengah membicarakan nasib mereka, hingga terlibat percakapan dengan seorang kepala keluarga pengungsi. Ibu-ibu tersebut membicarakan tentang kekhawatiran akan kediaman mereka yang berada dalam wilayah rawan bencana. Saya yang tidak terlalu fasih berbahasa jawa hanya mendengarkan teman saya yang berinteraksi dengan mereka. Banyak yang mereka keluhkan. Tentang harta benda mereka yang tertinggal, ternak mereka, surat-surat berharga mereka, namun mereka juga bersyukur karena anggota keluarganya tidak kurang suatu apapun. Satu sama lain ibu-ibu yang berbincang tersebut saling menguatkan untuk tabah menerima keadaan dengan mengucapkan kalimat berbahasa jawa yang artinya kurang lebih “kita nggak sendiri kok, masih banyak orang lain yang juga menjadi korban.” 

Nilai keagamaan juga terasa disana. Walaupun dengan tempat yang serba sederhana, mereka tetap melaksanakan sholat lima waktu di lokasi pengungsian tersebut. Mereka tidak beribadah di ruang khusus, namun mereka beribadah (dalam hal ini sholat) di auditorium atau lokasi tempat mereka mengungsi tersebut. Bisa dibayangkan ketika saya melihat lokasi tempat mereka mengungsi, terdapat pengungsi yang sedang beribadah disana, hati saya trenyuh. Mereka tidak melupakan Sang Pemilik Kehidupan. 

Lain halnya ketika teman saya berbincang dengan salah seorang kepala keluarga yang seluruh keluarganya mengungsi di tempat itu. Dengan tekanan batinnya, beliau meminta sedikit sedekah uang kepada teman saya yang relawan tersebut. Sedikit saya tuliskan perbincangan namun dalam bahasa Indonesia. “Mas, kamu kan relawan, mbok saya diberi sedikit uang untuk anak-istri saya. Memang disini kebutuhan sudah difasilitasi. Tapi saya malu ketika istri saya meminta uang kepada saya, saya tidak punya sama sekali. Saya mau bilang gimana sama istri saya.” Seperti itu kira-kira percakapannya. 

Melihat kemungkinan yang ada, teman saya menolak untuk memberikan uang, dan hanya memberi saran dan masukan secara psikologis untuk beliau menghadapi masalah tersebut. Memang tidak etis apabila relawan memberikan uang secara pribadi tanpa koordinasi posko pusat kepada salah seorang pengungsi, hal ini dapat menjadi kesenjangan social apabila nanti diketahui oleh pengungsi yang lain. 

Namun, hal ini memberi informasi kepada saya mengenai keadaan mereka sebenarnya. Betapa beratnya yang mereka hadapi ditengah ancaman Gunung Merapi yang belum terdapat titik terangnya. Lumrah, jika banyak yang mendapat trauma psikologis dalam bencana ini. Bencana yang sama sekali tidak mereka duga sebelumnya. Namun hal ini dapat menjadi pembelajaran bagi bersama. Mengenai arti bencana bagi kehidupan, arti pentingnya kebersamaan, arti kemanusiaan bagi kelangsungan hidup mereka, arti sahabat dalam memotivasi dan berbagi, arti pemerintah untuk kejelasan kondisi dan tumpuan harapan, serta arti agama untuk menguatkan diri menghadapi cobaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar